Taman Sari Yogyakarta atau
Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah sebuah situs bekas taman atau kebun istana (
royal garden)
Keraton Yogyakarta. Hal ini dapat dibandingkan dengan
Kebun Raya Bogor sebagai kebun
Istana Bogor. Kebun ini dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765/9. Awalnya, taman yang mendapat sebutan “The Fragrant Garden” ini memiliki luas lebih dari 10 hektar dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air. Kebun yang digunakan secara efektif antara
1765-
1812 ini pada mulanya membentang dari barat daya kompleks Kedhaton sampai tenggara kompleks Magangan. Namun saat ini, sisa-sisa bagian Taman Sari yang dapat dilihat hanyalah yang berada di barat daya kompleks Kedhaton saja.
Konon, Taman Sari dibangun di bekas keraton lama, Pesanggrahan Garjitawati, yang didirikan oleh Susuhunan
Paku Buwono II sebagai tempat istirahat kereta kuda yang akan pergi ke
Imogiri. Sebagai pimpinan proyek pembangunan Taman Sari ditunjuklah
Tumenggung Mangundipuro. Seluruh biaya pembangunan ditanggung oleh Bupati
Madiun,
Tumenggung Prawirosentiko, besrta seluruh rakyatnya. Oleh karena itu daerah Madiun dibebaskan dari pungutan pajak. Di tengah pembangunan pimpinan proyek diambil alih oleh
Pangeran Notokusumo, setelah Mangundipuro mengundurkan diri. Walaupun secara resmi sebagai kebun kerajaan, namun bebrapa bangunan yang ada mengindikasikan Taman Sari berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir jika istana diserang oleh musuh. Konon salah seorang arsitek kebun kerajaan ini adalah seorang
Portugis yang lebih dikenal dengan
Demang Tegis.
Kompleks Taman Sari setidaknya dapat dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama adalah danau buatan yang terletak di sebelah barat. Bagian selanjutnya adalah bangunan yang berada di sebelah selatan danau buatan antara lain Pemandian Umbul Binangun. Bagian ketiga adalah Pasarean Ledok Sari dan Kolam Garjitawati yang terletak di selatan bagian kedua. Bagian terakhir adalah bagian sebelah timur bagian pertama dan kedua dan meluas ke arah timur sampai tenggara kompleks Magangan.
Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu (
Seribu Pintu) dikarenakan bangunan tersebut memiliki
pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai
seribu. Bangunan ini memiliki banyak
jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Saat ini bangunan tua tersebut telah mengalami tahap konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta Api Persero
<---------BAGUS--------->
BalasHapus